Teman, masih ingat sama uang Rp20.000 yang dikeluarkan di tahun 1998? Di sana ada wajah seseorang. Ya, sudah pasti bukan Soekarno. Di uang dua puluh ribu itu, terdapat wajah seoranang pahlawan di bidang pendidikan, yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Perjuangannya untuk mempelopori pendidikan bagi kaum pribumi membuat tanggal lahirnya (2 Mei) diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Yuk kita ulas sedikit sepak terjang perjuangan bapak yang terkenal karena semboyan tut wuri handayani ini. Kwuk!
Masa Muda dan Awal Karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai lulus karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas Pergerakan
Selain sebagai wartawan muda yang keren, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Jadi, yang ngajarin kita harus bersatu dulu adalah Ki Hadjar Dewantara lho. Tuh, mblo kalian kapan bersatunya? Jomblo bersatu kan tak bisa dikalahkan. Kwuk!
Als Ik Een Nederlander Was
Waktu Belanda baru merdeka tahun 1913, mereka mau mengumpulkan sumbangan dari pribumi untuk perayaan kemerdekaan. Timbullah reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian ia menulis, "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als Ik Een Nederlander Was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda. Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi waktu itu baru berusia 24 tahun. Keren ya anak muda zaman dulu. Kita gak boleh kalah, teman!
Dalam Pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Dari sinilah ia mulai merintis sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Ia smepat bergabung di sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar itu kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Menteri Pendidikan Nasional
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (dulu disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum. Ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Itulah teman, sepenggal kisah Ki Hadjar Dewantara. Semoga bisa menginspirasi kita semua untuk lebih semangat dalam belajar dan berkarya. Selamat Hari Pendidikan Nasional! Kwuk!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar